Madura, Another Earth Another Sky; Kamal
MENYEBRANG
Mobilitas kerja mas Adam tidak mendukung untuk tetap kos di Surabaya, karena galangan kapal PT.BTS ada di Madura, tepat di sebelah pelabuhan Kamal. Misalnya tetap kos di Surabaya bisa saja, tetapi dengan konsekuensi harus menyebrang ke Madura setiap hari. Ya Allah Gustiii mencari penguripan yo sampe nyebrang pulaau,, setiap hariii,,hikhikhik. Saya khawatir. Lalu mas Adam pun bertanya,Mas Adam : " Apa kita kos di Madura aja? "
Saya : " ............."
tol suramadu |
Antri masuk ke Ferry |
MENAPAKI
Keluar dari pelabuhan kami berada di Jalan Kamal Raya, jalan raya dengan lebar kira-kira 9 m yang menjadi jalan utama di Kamal. Layaknya jalan utama, di pinggirnya banyak pertokoan, tetapi yang saya cari bukan itu, yang saya cari adalah pasar tradisional, dan Alhamdulillah, Pasar Baru Kamal saya temukan setelah menyusuri jalan sejauh kira-kira 500 m.
Lalu, di mana Perumnasnya? Heremaps bilang bahwa di pertigaan besar pertama kami harus belok kiri, oke benar, kami sampai di Perumnas. Lalu jalan Jeruk dalam? heremaps tidak bilang apa-apa. Kami sudah muter-muter tetapi tidak juga menemukan, akhirnya menyerah dan memutuskan untuk bertanya (kenapa tidak dari awal???!). Sayangnya, informasi tempat kos yang kami cari disangkal oleh Bapak tempat kami bertanya --bahwa di jalan Jeruk dalam tidak ada tempat kos-- kami sodorkan iklan yang memajang foto rumah tempat kos itu, lalu si Bapak menjawab dengan menunjukkan titik cerah,
"oooooh ..rumah pak Sugeng! itu di depan sana di Jl. Jambu Raya, liat aja ada plang Salon Srikandi "
Setelah mengucapkan terima kasih. kami tinggalkan si Bapak dan menuju rumah Pak Sugeng. Rumah yang kami dapati adalah rumah besar berlantai dua. Ada salon di lantai satu rumah itu, Salon Srikandi, dan di temboknya terdapat lempengan kuningan berbentuk angka 99. Jadi lengkapnya alamat tempat kos ini di Jl. Jambu Raya No.99 Perumnas Kamal-Madura. Setelah saya konfirmasi ke Pak Sugeng tentang alamat yang tidak sesuai dan nomor yang tidak bisa dihubungi yang terdapat di iklan, beliau menjawab,
"oooooh.. itu iklan yang buat anak saya sudah lama, dan dia sudah ganti nomor". hmmm.. okay.
Singkat cerita, mas Adam merasa cocok, dan esoknya kamar untuk pasutri di kos Srikandi langsung kami tempati. Ketika kami tiba, kamar dan kamar mandi sudah rapi dan bersih. Ibu Sugeng memberi tahu saya bahwa peralatan masak di dapur sudah disiapkan dan jika ada yang kurang bisa minta ke dapur rumah di lantai satu. Setelah semuanya selesai transaksi pun dilaksanakan, uang Rp.1.500.000 ditukar dengan kunci kamar. Ya,, begitulah,, cerita kehidupan kami di Kamal dimulai.
MENJALANI
Dua minggu tinggal di Kamal, saya mendapati orang Madura (baca: ibu-ibu pedagang di pasar) sebagai orang yang to the point, no basa-basi at all !, frontal, apa adanya dan sedikit galak hehehe. Entah karena mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang dari penampilannya terlihat, maaf, tidak berpendidikan tinggi -- memangnya kalau berpendidikan tinggi lantas pintar basa-basi ? gitu? aneh kamu!-- atau entah memang seperti itulah tabiat mereka. Ada satu kejadian yang membuat saya hampir kapok belanja di pasar. Begini ceritanya,
setting : Stall buah dan stall minyak bersebelahan. Saya membeli minyak ukuran 1 L seharga Rp.12.000 dan membayar dengan uang Rp.100.000. Karena si penjual minyak tidak punya uang kembalian yang cukup, pergilah ia menukar uang Rp.100.000 di stall lain. Sambil menunggu si penjual minyak kembali, saya melihat dagangan si penjual buah dan tertarik pada Semangka inul yang ranum, lalu bertanya
Ory : " Semangka ini dalemnya merah atau kuning, Bu ? " (saya tidak suka semangka yang daging buahnya kuning, dan tidak suka semangka bulat, yang saya cari adalah semangka lonjong /inul yang daging buahnya merah)
Ibu : " Kuning, nak. Mau ya? "
Ory : " Yang merah di Madura gak ada ya, Bu? " (sebelumnya sudah beberapa stall buah yang saya lihat, mereka hanya menjual Semangka bulat merah, dan Semangka lonjong kuning)
Ibu : " Addeu* nak di sini "
Ory : " Kalau ini (semangka lonjong kuning) berapa harganya, Bu? "
Ibu : " pitu ebu sak kilo (tujuh ribu sekilo)
--Si penjual minyak datang dan menyerahkan uang kembalian ke saya, saya hitung sebentar lalu langsung masukkan uang ke dompet--
Ibu : " Mau ya nak? "
Ory : " Lain kali ya, Bu "
Ibu : " Yeeeeuuuu, lapo lah tanyeu tanyeu kalau dak mau beli " dengan nada tinggi.
Ory : Kaget. tersenyum sambil berlalu.
*Addeu : tidak ada
Oke, saya akui saya tidak sepenuhnya benar karena banyak bertanya tetapi tidak membeli. Tetapi sepertinya si Ibu juga tidak perlu bicara dengan nada tinggi. Toh saya baru bertanya belum menawar harga. Semenjak itu saya takut untuk bertanya. Banyak sayuran dan buah-buahan yang baru saya lihat di Madura. Tetapi saya redam rasa penasaran saya. Takut kalau saya banyak bertanya dan ternyata tidak membeli, saya akan dibentak lagi.
Sebenarnya saya cocok dengan tabiat seperti itu, karena saya pun orangnya gak bisa basa-basi, tetapi karena terlalu lama berbasa-basi di ibukota, jadilah kaget menghadapi masyarakat baru yang no basa-basi mode : On. Akhirnya saya membuat solusi sendiri,
1. Tidak usah banyak-banyak mengenal pedagang, maksudnya tentukan mau beli apa di stall mana dan langsung jadikan langganan.
2. Jika melihat sayur atau buah yang baru, jangan tanya jika tidak mau beli, atau
3. Beli dengan siap menghadapi segala konsekuensinya (baca: siap-siap kalo ternyata rasanya gak enak dan gak suka)
Ternyata solusi yang saya terapkan membuahkan hasil manis. Contohnya tukang buah yang saya jadikan langganan. Hampir setiap beli saya diberi harga spesial. Si ibu pedagang buah, kalau dengan saya, menyebutkan harga dengan bisik-bisik atau dengan gerak mulut tanpa suara. Saya selalu diberi harga 1000-2000 lebih murah dari harga biasa. Begitu juga dengan nenek pedagang daun kelor, yang selalu menjadi tujuan utama saya begitu saya tiba di pasar. Beliau memberi saya bonus 1-2 ikat daun kelor, karena saya selalu memborong habis setiap beli daun kelor jualannya.
Pengalaman dibentak oleh pedagang itu membuat saya berkesimpulan bahwa nada bicara orang Madura tinggi bukan berarti mereka galak, tetapi memang seperti itu cara mereka bicara. Satu lagi, saya suka penampilan mayoritas ibu-ibu pedagang ini. Amat sangat nasional dan konvensional. Bersarung, berkebaya dan memakai tutup kepala, jika bukan kerudung atau bergo, mereka pakai selendang yang diselempangkan berlawanan arah di atas kepala, seperti yang dipakai oleh ibu yang sedang berjalan di tengah pasar dalam foto di atas. Klasik.
Hal klasik lain di Kamal yang membuat saya terkejut adalah angkutan umum!. Saya ingat sebutannya, Doyok. Dulu, Doyok masih beroperasi di daerah Pondok Labu Jakarta Selatan. Trayeknya Pdk.Labu-Karang Tengah-Pasar Jumat. Mas Adam bahkan pernah merasakan naik Doyok ini waktu les Nurul Fikri di Imam Bonjol. Tapi itu duluuuu, kira-kira 15-20 tahun yang lalu, dan sekarang saya bertemu lagi, dan merasakan menaiki lagi setiap saya mau ke pasar Kamal. Ongkos dari Perumnas ke pasar Kamal Rp.2000, itu pun sudah naik dari Rp.1000, mengikuti kenaikan BBM awal tahun ini. Anda tahu kan cara naik Doyok? pintunya centered at the back. Entah apa yang harus saya rasakan atas pertemuan kembali kami ini, perpaduan antara bahagia dan miris, mungkin?Hehe.
Adanya Doyok ini membuat saya melihat Andong atau Delman, yang juga masih banyak digunakan sebagai transportasi umum di Kamal menjadi biasa. Di Jakarta masih banyak andong, bahkan di tengah kota (baca: Monas), tetapi Doyok ini? sudah punah!.
Memang tidak tepat kalau membandingkan Kamal dengan Jakarta, jangankan dengan Jakarta, membandingkan dengan Surabaya saja keliru. Yang satu kota terbesar kedua, yang satu kecamatan kecil , gemana deh kamuu..!. Tetapi jika dipaksakan mungkin bisa, dibandingkan dengan Surabaya tahun '60 atau '70 hehehe.
Bagi saya, hal-hal klasik yang ada justru membuat Kamal lebih nyaman untuk dijadikan tempat tinggal dibanding Surabaya. Tidak ada bising, tidak banyak polusi asap kendaraan, tidak ada macet, lebih homy, lebih rindang, lebih ramah, sedikit lebih sejuk karena masih banyak kebun-kebun warga dengan pohon-pohon besar dipinggir jalan, dan uniknya, saya amat sangat menikmati suasana ini, saya betah!.
MENELUSURI
MENJALANI
Dua minggu tinggal di Kamal, saya mendapati orang Madura (baca: ibu-ibu pedagang di pasar) sebagai orang yang to the point, no basa-basi at all !, frontal, apa adanya dan sedikit galak hehehe. Entah karena mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang dari penampilannya terlihat, maaf, tidak berpendidikan tinggi -- memangnya kalau berpendidikan tinggi lantas pintar basa-basi ? gitu? aneh kamu!-- atau entah memang seperti itulah tabiat mereka. Ada satu kejadian yang membuat saya hampir kapok belanja di pasar. Begini ceritanya,
Pasar baru kamal |
setting : Stall buah dan stall minyak bersebelahan. Saya membeli minyak ukuran 1 L seharga Rp.12.000 dan membayar dengan uang Rp.100.000. Karena si penjual minyak tidak punya uang kembalian yang cukup, pergilah ia menukar uang Rp.100.000 di stall lain. Sambil menunggu si penjual minyak kembali, saya melihat dagangan si penjual buah dan tertarik pada Semangka inul yang ranum, lalu bertanya
Ory : " Semangka ini dalemnya merah atau kuning, Bu ? " (saya tidak suka semangka yang daging buahnya kuning, dan tidak suka semangka bulat, yang saya cari adalah semangka lonjong /inul yang daging buahnya merah)
Ibu : " Kuning, nak. Mau ya? "
Ory : " Yang merah di Madura gak ada ya, Bu? " (sebelumnya sudah beberapa stall buah yang saya lihat, mereka hanya menjual Semangka bulat merah, dan Semangka lonjong kuning)
Ibu : " Addeu* nak di sini "
Ory : " Kalau ini (semangka lonjong kuning) berapa harganya, Bu? "
Ibu : " pitu ebu sak kilo (tujuh ribu sekilo)
--Si penjual minyak datang dan menyerahkan uang kembalian ke saya, saya hitung sebentar lalu langsung masukkan uang ke dompet--
Ibu : " Mau ya nak? "
Ory : " Lain kali ya, Bu "
Ibu : " Yeeeeuuuu, lapo lah tanyeu tanyeu kalau dak mau beli " dengan nada tinggi.
Ory : Kaget. tersenyum sambil berlalu.
*Addeu : tidak ada
Oke, saya akui saya tidak sepenuhnya benar karena banyak bertanya tetapi tidak membeli. Tetapi sepertinya si Ibu juga tidak perlu bicara dengan nada tinggi. Toh saya baru bertanya belum menawar harga. Semenjak itu saya takut untuk bertanya. Banyak sayuran dan buah-buahan yang baru saya lihat di Madura. Tetapi saya redam rasa penasaran saya. Takut kalau saya banyak bertanya dan ternyata tidak membeli, saya akan dibentak lagi.
Sebenarnya saya cocok dengan tabiat seperti itu, karena saya pun orangnya gak bisa basa-basi, tetapi karena terlalu lama berbasa-basi di ibukota, jadilah kaget menghadapi masyarakat baru yang no basa-basi mode : On. Akhirnya saya membuat solusi sendiri,
1. Tidak usah banyak-banyak mengenal pedagang, maksudnya tentukan mau beli apa di stall mana dan langsung jadikan langganan.
2. Jika melihat sayur atau buah yang baru, jangan tanya jika tidak mau beli, atau
3. Beli dengan siap menghadapi segala konsekuensinya (baca: siap-siap kalo ternyata rasanya gak enak dan gak suka)
Ternyata solusi yang saya terapkan membuahkan hasil manis. Contohnya tukang buah yang saya jadikan langganan. Hampir setiap beli saya diberi harga spesial. Si ibu pedagang buah, kalau dengan saya, menyebutkan harga dengan bisik-bisik atau dengan gerak mulut tanpa suara. Saya selalu diberi harga 1000-2000 lebih murah dari harga biasa. Begitu juga dengan nenek pedagang daun kelor, yang selalu menjadi tujuan utama saya begitu saya tiba di pasar. Beliau memberi saya bonus 1-2 ikat daun kelor, karena saya selalu memborong habis setiap beli daun kelor jualannya.
Nenek penjual kelor langganan saya dikelilingi komoditas jualannya |
Hal klasik lain di Kamal yang membuat saya terkejut adalah angkutan umum!. Saya ingat sebutannya, Doyok. Dulu, Doyok masih beroperasi di daerah Pondok Labu Jakarta Selatan. Trayeknya Pdk.Labu-Karang Tengah-Pasar Jumat. Mas Adam bahkan pernah merasakan naik Doyok ini waktu les Nurul Fikri di Imam Bonjol. Tapi itu duluuuu, kira-kira 15-20 tahun yang lalu, dan sekarang saya bertemu lagi, dan merasakan menaiki lagi setiap saya mau ke pasar Kamal. Ongkos dari Perumnas ke pasar Kamal Rp.2000, itu pun sudah naik dari Rp.1000, mengikuti kenaikan BBM awal tahun ini. Anda tahu kan cara naik Doyok? pintunya centered at the back. Entah apa yang harus saya rasakan atas pertemuan kembali kami ini, perpaduan antara bahagia dan miris, mungkin?Hehe.
Doyok, trayek: Kamal-Perumnas-Kamal |
Barisan Doyok di depan Pasar Kamal |
Jalan Raya Kamal |
Bagi saya, hal-hal klasik yang ada justru membuat Kamal lebih nyaman untuk dijadikan tempat tinggal dibanding Surabaya. Tidak ada bising, tidak banyak polusi asap kendaraan, tidak ada macet, lebih homy, lebih rindang, lebih ramah, sedikit lebih sejuk karena masih banyak kebun-kebun warga dengan pohon-pohon besar dipinggir jalan, dan uniknya, saya amat sangat menikmati suasana ini, saya betah!.
MENELUSURI
Berlabuh |
Di salah satu dermaga nelayan. walaupun saya lagi oke dan keliatan bulat sekali, biarlah, yang penting suasananya dapet.. |
optimus prime, hehehe |
Surabaya dilihat dari satu sudut di pesisir Kamal |
My cousin, Riri, during her visit to Madura |
Jembatan Suramadu |
Widuri, salah satu tanaman liar yang banyak ditemui |
Pemandangan alam yang paling mudah ditemui di Kamal adalah pemandangan laut Selat Madura. Jarak yang hanya 2-3 km membentang di antara pulau Jawa dan Madura, membuat Anda bisa melihat keduanya dari masing-masing pulau.
Jadi, setiap kami ingin refreshing, kami menuju ke arah pertigaan pelabuhan lalu berbelok ke kiri. Menikmati Selat Madura dengan segenap penghuninya, (baca: kapal nelayan, ferry, cargo, dll) yang sedang hilir mudik maupun parkir, sambil makan rujak atau minum soda gembira.
Di Kamal terdapat pangkalan militer AL, yaitu Pangkalan AL Batuporon. Jalan menuju gerbang dalam pangkalan AL ini dinaungi pohon-pohon besar sehingga cocok untuk sekedar duduk-duduk di bawah pohon-pohon besar berbekal es kelapa, sambil memandang laut lepas dan jembatan Suramadu di kejauhan. Suasana Batuporon yang rapi dan bersih dan banyak pohon besar, membuat angin terasa lebih nikmat menyentuh kulit. Tetapi ada satu hal yang perlu saya ingatkan, di Batuporon, sebaiknya berhati-hati untuk tidak terlalu jauh masuk mendekati gerbang dalam pangkalan militer, jika mendekat hingga 100-200m dari gerbang dalam, hampir pasti salah satu personel akan mendatangi dan meminta untuk menjauh sambil mengingatkan untuk tidak mengambil gambar di area pangkalan militer itu. Saya pernah kena tegur!
Di Kamal terdapat pangkalan militer AL, yaitu Pangkalan AL Batuporon. Jalan menuju gerbang dalam pangkalan AL ini dinaungi pohon-pohon besar sehingga cocok untuk sekedar duduk-duduk di bawah pohon-pohon besar berbekal es kelapa, sambil memandang laut lepas dan jembatan Suramadu di kejauhan. Suasana Batuporon yang rapi dan bersih dan banyak pohon besar, membuat angin terasa lebih nikmat menyentuh kulit. Tetapi ada satu hal yang perlu saya ingatkan, di Batuporon, sebaiknya berhati-hati untuk tidak terlalu jauh masuk mendekati gerbang dalam pangkalan militer, jika mendekat hingga 100-200m dari gerbang dalam, hampir pasti salah satu personel akan mendatangi dan meminta untuk menjauh sambil mengingatkan untuk tidak mengambil gambar di area pangkalan militer itu. Saya pernah kena tegur!
Gerbang luar Pangkalan Militer AL Batuporon. Me and my sister in law during her visit to Madura |
Ada satu semi-cafe kira-kira 700m dari pertigaan pelabuhan, buka menjelang matahari terbenam sampai malam, di mana gemerlap kota Surabaya terlihat jelas dari situ. Lampu-lampu dari gedung-gedung yang tinggi dan dari kapal-kapal yang parkir di Selat Madura.
Jika ingin jajan-jajan, di sepanjang jalan Kamal Raya banyak kios makanan mulai dari Bakso, Pecel Ayam/Lele, Soto, Sate, Nasi goreng, Kebab, Es kacang hijau, bakery-bakery berkualitas menengah dengan harga murah. Ada satu bakery, yaitu Kraton Bakery, donatnya menjadi favorit saya sampai saat ini. Rasa dan tekstur 10-12 dengan J.co namun dengan harga yang jauh lebih murah, Rp.3000/pcs.
Jika ingin jajan-jajan, di sepanjang jalan Kamal Raya banyak kios makanan mulai dari Bakso, Pecel Ayam/Lele, Soto, Sate, Nasi goreng, Kebab, Es kacang hijau, bakery-bakery berkualitas menengah dengan harga murah. Ada satu bakery, yaitu Kraton Bakery, donatnya menjadi favorit saya sampai saat ini. Rasa dan tekstur 10-12 dengan J.co namun dengan harga yang jauh lebih murah, Rp.3000/pcs.
Cafe by the sea |
Cerita tentang Kamal ini membuka lembaran cerita kehidupan kami di Madura. Tanah dan langit yang baru, yang akan menopang dan menaungi kami menjalani semua rencana-Nya. Setulus hati dan sepenuh cinta (???)*.
*cieeeeeeeee
Bangkalan, 2015
2 komentar: